Bocah itu menjadi pembicaraan di kampung. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja di atasnya, dan bahkan orang-orang tua.
Sungguh menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat di plastik es tersebut.
Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi di tengah hari pada bulan puasa! Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung itu lebih terik dari biasanya.
Seorang pengurus masjid mendapat laporan dari orang-orang kampung mengenai bocah itu. Para penduduk tidak berani melarang bocah kecil itu. Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.
Mamad memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setiap bakdha Zuhur, anak itu akan muncul secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga!
Tidak lama Mamad menunggu, bocah itu datang lagi. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah. Mamad pun lalu menegurnya. Cuma, ya itu tadi, bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar.
“Bismillah...,” ucap Mamad dengan kembali memegang lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir, kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini. Kalau memang bocah itu “bocah beneran” pun, ia juga akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.
Mendengar ucapan bismillah tadi, bocah itu mendadak menuruti tarikan tangan Mamad. Mamad pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah. Gerakan Mamad diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya.
“Ada apa Bapak melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?” tanya bocah itu sesampainya di rumah Mamad, seakan-akan tahu bahwa Mamad akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Mamad.
“Maaf ya, itu karena kamu melakukannya di bulan puasa,” jawab Mamad dengan halus, "apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.”
Sebenarnya Mamad masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak kecil itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Mamad selesai. Ia menatap Mamad lebih tajam lagi, dan tiba tiba berkata dengan lantang.
“Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua!
Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya..?!
Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinan pada sebelas bulan di luar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami?
Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?
Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal..?!
Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug Maghrib bertalu, ketika azan Maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian…!?”
Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Mamad untuk menyela.
Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar “sangat” menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba.
“Ketahuilah Pak, kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tidak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Bapak hanya berpuasa sepanjang siang saja.
Dan ketahuilah juga, justru Bapak dan orang-orang di sekeliling bapak lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri?
Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri?
Pak.., sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.
Pak.., kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami…!
Pak.., sadarkah Bapak akan ketidakabadian harta?
Sadarkah apa yang terjadi bila bapak dan orang-orang sekeliling bapak tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya bapak dan orang-orang di sekeliling bapak bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat...
Tahukah Bapak akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?
Pak.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi.
Jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan ‘tuk setahun,
Jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak….”
Entahlah apa yang ada di kepala dan hati Mamad. Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya! Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Mamad yang dibuatnya terbengong-bengong.
Di kejauhan, Mamad melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi. Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang! Mamad tidak mau main-main. Segera ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur.
Mamad berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Mamad tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati mata hatinya. Sekarang yang ada di pikirannya sekarang, entah mau dipercaya orang atau tidak, ia ingin sekali menjelaskan hikmah perkataan bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar