Dia juga tidak seperti ulama, pendeta, pastur, guru, atau tokoh spiritual lainnya, yang harus menyesuaikan jadwalnya sebelum bisa menerimamu berbincang, konsultasi, atau memberi fatwa dan ceramah.
Dia di seberang ruang dan waktu, atau dalam bahasa Batak, eh, Inggrisnya, beyond the time and spaces. Kau bisa mendatanginya kapan saja, dalam keadaan bagaimana pun. Ia tidak menjadi cemberut atau ogah-ogahan ketika kau menyapanya dengan pakaian kumal dan gigi belum disikat, atau justru mendadak bergairah karena kau kenakan suit lengkap keluaran Armani, bertabur parfum produksi Kenzo.
Bila di kehidupan nyata, kau kadang merasa terbelenggu untuk mengekspresikan warna iman dan fantasi liar spiritualmu, di sini di hadapan Sang Rasul, please feel free.
Ajaran agama yang terkesan (atau dikesankan) membelenggu potensi pikiran, terbukti membuat banyak ilmuwan menepi dari telaga ajaran Tuhan itu, dan akhirnya keduanya seperti berselisih jalan.
Soalnya, dalam tradisi ilmiah, sebuah pendapat, pengalaman atau tesis baru diakui kebenarannya bila memenuhi standar clearly and distincly, dapat diverifikasi, dan lulus pada berbagai perangkat pengujian keilmiahan lainnya.
Agama dan konsepsi spiritual yang dibawanya, tidak selalu memenuhi standar-standar ilmiah itu. Nah, Rasul ini memberi ruang bagi siapapun, termasuk saintis paling atheis pun, untuk menjajal logikanya, tanpa rasa emosi atau ketersinggungan sama sekali.
Ia akan tenang saja, stabil, betapa panas pun kau mendebatnya. Jika logikamu kau rasa menang, ia tidak akan protes, dan menunggumu untuk perdebatan babak berikutnya. Dan kalau kau merasa tersudut, tak perlu malu, menyingkir saja. Dia tak akan mengejek.
Bandingkan dengan rumah-rumah ibadah yang “suci” itu, di mana tak ada tempat bagi perdebatan teologis atau tantangan iman. Di sana sudah ada “kebenaran” yang final, yang tak bisa dibawa maju mundur lagi, membatu melumut seperti tugu yang tak terurus.
The best part of it, dia juga Rasul yang asyik. Di sela-sela kernyit keningmu berdebat dengannya soal Tuhan dan agama, atau tentang apapun!, sebagai selingan kau bisa meminta gambar porno.
Seperti do’a yang begitu cepat dikabulkan, dalam hitungan detik, di depanmu akan terpampang segala macam bentuk tubuh, dari yang meliuk elegan sampai mengangkang ala hardcore.
Bukan karena ingin menyesatkanmu, tetapi karena dia percaya, kau pasti tahu apa yang baik dan apa yang mestinya kau hindari. Paling dia bertanya, “Udah 18 tahun belum?” Dan kalau kau pun berbohong, tak apa-apa. Yang jelas, dia sudah bertanya.
Dia tahu betul, larangan sekeras apapun tak ada gunanya, jika hati memang belum memilih. Dia percaya, pada saatnya kau akan bosan dengan itu. Ia bahkan tidak akan mengutuk, mengkafirkan, memvonismu sebagai penghuni neraka, atau merasa dilecehkan, jika kau sampai orgasme dalam onani di hadapan foto atau video syur itu.
Dengan penuh kasih dan pengertian, dia malah menantang, “Want more? Just Click Here!”, atau dalam bahasa Batak, “Di ho dope? Attuk di son!”.
Juga bila sehabis onani tadi kau mendadak ingin bertanya kembali soal Tuhan, No problemo mi amigo! Dia tak akan menyuruhmu ambil wudhu dulu, apalagi mandi dengan membasahi rambut dan sekujur tubuh.
Sesigap saat menyajikan gambar porno tadi, ia akan langsung menjawab, dengan berjuta jawaban. Seolah barusan tak terjadi apa-apa.
Lagi-lagi, kau dimintanya memilih kebenaranmu sendiri. Dia tahu, otakmu ada di sana untuk sebuah manfaat: memilih kebenaran.
Jika kebenaran untukmu harus dipilihkan, apalagi diwajibkan, tak perlu ada sel kelabu sebanyak itu di rongga kepalamu, cukup sebuah chip kecil berisi program atau sofware "kebenaran" itu, dan ruang di tempurung kepala itu bisa dipakai untuk organ lain, perut cadangan, misalnya, biar kayak udang!
Oiya, dia dituduh Rasul palsu? Relaks, Man… Dia tak akan marah, atau justru mendadak takut dan mencopot sendiri gelar kerasulannya, seperti si Mushaddiq dari Alqiyadah itu. Dia bahkan tak merasa perlu membela diri, karena nyatanya, umatnya toh terus bertambah di seluruh penjuru dunia.
Oiya, hampir lupa… Orang-orang menamai Rasul itu...
I N T E R N E T.
http://nesia.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar